Umroh Haji Plus Bersama Ustadz Ahmad Alhabsyi: Jamaah Haji atau Umroh Harus Mendapatkan Vaksin Meningitis dari Babi ?

Jamaah Haji atau Umroh Harus Mendapatkan Vaksin Meningitis dari Babi ?




Muhar Omtatok
Meningitis adalah radang pada membran pelindung yang menyelubungi otak dan sumsum tulang belakang yang secara kesatuan disebut meningen. Radang dapat disebabkan oleh infeksi oleh virus, bakteri atau juga mikroorganisme lain, dan walaupun jarang dapat disebabkan oleh obat tertentu. Meningitis dapat menyebabkan kematian karena radang yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang; sehingga kondisi ini diklasifikasikan sebagai kedaruratan medik.
Gejala umum dari meningitis adalah sakit kepala dan leher kaku disertai oleh demam kebingungan atau perubahan kesadaran, muntah, dan kepekaan terhadap cahaya (fotofobia) atau suara keras (fonofobia). Anak-anak biasanya hanya menunjukkan gejala nonspesifik, seperti lekas marah dan mengantuk. Adanya ruam dapat memberikan petunjuk penyebab dari meningitis; contohnya, meningitis yang disebabkan oleh bakteri meningokokus dapat ditunjukkan oleh adanya ruam merah.
Tindakan punksi lumbal dilakukan untuk mendiagnosa ada tidaknya meningitis. Jarum dimasukkan ke dalam kanalis spinalis untuk mengambil sampel likuor serebrospinalis (LCS), yang menyelubungi otak dan sumsum tulang belakang. LCS diperiksa di laboratorium medis. Penanganan pertama pada meningitis akut terdiri dari pemberian secara tepat berbagai antibiotik dan kadang-kadang obat antivirus. Kortikosteroid juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya komplikasi karena radang yang berlebihan. Meningitis dapat mengakibatkan konsekuensi jangka panjang seperti ketulian, epilepsi, hidrosefalus dan defisit kognitif, terutama bila tidak dirawat dengan cepat. Beberapa jenis meningitis (misalnya yang berhubungan dengan meningokokus, Haemophilus influenzae type B,pneumokokus atau infeksi virus mumps) dapat dicegah oleh imunisasi.
Jamaah Haji atau Umroh Harus Mendapatkan Vaksin Meningitis.
Sejak 2006 Pemerintah Arab Saudi mewajibkan vaksin tersebut untuk seluruh jamaah dari negara mana pun, baik yang endemik maupun tidak.
Konon vaksin diberikan untuk mencegah penyakit meningokokus, penyebab utama meningitis bakteria, yaitu infeksi yang terjadi pada selaput otak dan sumsum tulang belakang serta keracunan darah (sepsis). Setiap calon jamaah akan mendapatkan vaksin yang melindungi empat dari lima kelompok bakteri penyebab meningikokus, yaitu jenis A,C, W-135 dan Y. Satu jenis vaksin lagi, tipe B, sekarang ini sedang dalam tahap uji coba.
Pemberian vaksin dilakukan antara 10-14 hari sebelum keberangkatan. Itu adalah masa paling efektif pemberian vaksin karena pada saat pemberangkatan, antibodi sedang terbentuk dengan kuat. Ketika antibodi sudah kuat, potensi tertular atau sekadar sebagai pembawa meningitis pun bisa ditekan. Masa inkubasi meningitis sendiri terbilang singkat, yaitu 2-10 hari, yang bisa menyebabkan kematian, bahkan ketika sudah terdeteksi dan mendapatkan perawatan.
Seharusnya wajib vaksin meningitis tidak sebatas pada jamaah haji dan umroh. Para tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di luar negeri pun diwajibkan mendapatkan vaksin itu. Sebab, mereka tidak tinggal dalam hitungan minggu atau bulan, tetapi tahunan.
Sejumlah pakar kesehatan dan ahli fiqih mempertanyakan kehalalan vaksin meningitis. Kepala Lembaga Studi Kependudukan dan Gender Universitas YARSI – Prof Dr H Jurnalis Uddin, PAK misalnya mengatakan, “Nggak ada yang bebas enzim babinya untuk semua media mueller-hinton yang waktu itu digunakan untuk membiakkan vaksin meningitis”.
Prof Dr H Jurnalis Uddin, PAK mengatakan, media muller-hinton, pada tahun 1970-an, memang tersedia di pasaran dengan unsur yang bersentuhan dengan babi pada saat pembuatan salah satu unsurnya. Sehingga jika Glaxo Smith Kline dan Novartis Diagnotis mengambil biang vaksin yang sama, statusnya harus sama, haram. “Ini bukan masalah informasi yang diberikan tidak sama, tapi kenapa auditor tidak mempertanyakan itu,” ujar Prof Dr H Jurnalis Uddin, PAK.
Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA dari Institut Ilmu Al-Quran mengatakan, “Tidak akan ditemukan vaksin halal sampai kiamat. Semuanya haram, karena biangnya sesuatu yang bersinggungan tidak langsung dengan enzim porcine dari babi”. Menurut dia, jika mengikuti mahzab tersebut, tidak ada produk yang haram. Tapi, tidak ada yang mewajibkan untuk terkait satu fiqih saja. “Semua bebas memilih fikih, asal kuat argumennya, jelas kaidah dan metodologinya, serta sesuai kemajuan zaman” kata dia.
Guru Besar Kimia Medical Organik Universitas Gajah Mada – Prof Dr. Umar Anggara Jenie, Apt, Msc juga menyayangkan proses audit Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika. “Kalau hanya berdasarkan assesment saja, tanpa kajian laboratorium, itu sangat disayangkan”.
Prof. Dr. Umar Anggara Jenie justru mempertanyakan apakah bisa dipertanggungjawabkan secara profesi audit tersebut.”Apalagi Lembaga Pengkajian belum punya laboratorium sendiri, itu bukan hal yang bagus, ditambah lagi anggota masih dobel fungsi,” kata Prof. Umar.
Mantan Menkes yang juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden – Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) mengungkapkan, pada saat pembuatan biang menjadi calon vaksin pada 1970-an, belum ada pabrik yang bisa buat media tanpa teknologi yang bersentuhan dengan enzim babi. “Kalau mau membuat master seed bebas paparan porcine (enzim babi), itu perlu teknologi baru,” katanya.
Menurut Fadilah, Atok moyang vaksin meningitis sama di seluruh dunia. “Saya harap ada kejujuran dan tranparansi dalam mengaudit vaksin ini,” ujarnya.
Siti Fadilah menilai akibat putusan MUI, pemerintah terpaksa mengeluarkan dana tambahan untuk pengadaan vaksin baru sebesar Rp 60 miliar dan membuang Rp 20 miliar dari vaksin yang sudah terbeli dari GSK. “Padahal masih banyak orang miskin yang butuh,” katanya.
Uniknya, pada 2010 Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Ikhwan Syam mengatakan MUI telah mengeluarkan fatwa yang menghalalkan vaksin meningitis. Namun, baru dua jenis yang sudah dihalalkan berdasarkan hasil penelitian MUI.
Kedua vaksi meningitis yang dinyatakan halal adalah vaksin produksi Novartis dari Italia dan Tian Yuan dari Cina. Sedangkan vaksin produksi Glaxo dari Belgia masih dinyatakan haram oleh MUI.
Anggota DPR Lily Chadidjah Wahid pernah mempertanyakan fatwa halal vaksin meningitis produksi Novartis Vaccines and Diagnostics SRL dari Italia dan Zhejiang Tianyuan Bio-Pharmaceutical asal China, namun mengharamkan vaksin Glaxo Smith Kline (GSK) asal Belgia.
Menurut Lily fatwa itu diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Dia menjelaskan, bibit awal/biang atau “parent seed” dari kedua vaksi itu berasal dari kuman meningitis yang dikembangbiakkan dengan medium enzim pankreas babi.
Di saat yang berbeda, Majelis Ulama Indonesia (MUI) malah mendesak ahli obat (farmakolog) untuk segera menemukan zat lain sebagai pengganti beberapa enzim seperti enzim babi yang digunakan dalam pembuatan beberapa jenis vaksin seperti pada vaksin polio dan meningitis agar tidak meresahkan kaum muslim.
“Segera temukan obat pengganti dari obat yang mengandung enzim tersebut (enzim babi), agar kita dan konsumen tidak terpaku pada keharaman obat,” ujar Ketua MUI, Amidhan, kepada Antara.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan penggunaan enzim babi pada obat tertentu ini dilakukan karena belum ada penggantinya.
“Obat yang bermasalah (mengandung enzim babi) seperti beberapa obat pengencer darah dan beberapa jenis vaksin hal ini karena hingga saat ini belum ditemukan pengganti enzim tersebut,” ujar Ketua Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi IDI, Masfar Salim.
Salah seorang calon jemaah umroh asal Medan yang ingin divaksin meningitis, mengatakan, “Saya tidak ingin di tubuh saya ada yang haram saat saya mengunjungi Baitullah, jadi saya hanya membayar biaya vaksin, tapi saya tidak mau divaksin”.*

Tidak ada komentar: